
TENGGARONG-Sengkarut soal ganti rugi lahan tanam tumbuh (kebun) masyarakat Kelurahan Jahab, Kecamatan Tenggarong, mendapat hadiah pahit di awal tahun 2025 ini. Lahan yang selama ini (mereka) garap dan menjadi pemasukan untuk bertahan hidup diratakan alat berat milik HGU PT Budi Duta Agromakmur (BDA) sejak 2024 lalu. “Lahan tersebut sudah digarap sebelum HGU PT Haspram terbit, saat peta HGU Haspram lahan kebun saya diluar HGU, nah saat berganti PT BDA lahan saya masuk HGU,” ucap Darno.
Ia mengatakan lahannya berlokasi di poros Jonggon. Seluas 13 hektar, lahan tersebut tadinya masuk wilayah tanaman kehidupan PT BDA saat masih tanaman produksi utamanya karet, ada pula tanaman produksi buah alpukat, namun saat ini sudah berganti jadi tanaman sawit. “Dari poros Jonggon masuk sekitar 4 km, sejak 2024 lalu kebun saya sudah diratakan, untuk dijadikan lokasi persemaian pembibitan tanaman sawit PT BDA,” ujarnya.
Padahal lahan masyarakat tersebut sudah memiliki legalitas yang saat itu dikelola HGU PT Haspram Product Ltd surat itu terbit era Bupati Kutai Awang Faisyal pada 1979. Salah satu poin surat tersebut “apabila sebidang lahan tersebut belum diselesaikan ganti ruginya, masih merupakan hak dari (masyarakat) penggarapnya. “Lahan saya pernah ditawar PT BDA Rp 6 juta per hektar, saya tidak mau karena saat ini harusnya nilai ganti rugi tanam tumbuh kebun saya itu Rp 20 – 30 juta per hektar,” jelas Darno.
Sebagai informasi, pada pekan lalu 9 Januari 2025 lalu masyarakat pemilik lahan yang tergabung dengan masyarakat adat Jahab kembali menuntut Pemkab Kukar untuk dapat melakukan menyelesaikan persoalan ganti rugi lahan tersebut.
Untuk diketahui tuntutan pada aksi dan mediasi masyarakat adat Jahab pada 2024 lalu, berharap ada solusi dari Kementerian ATR, untuk tidak memperpanjang HGU jika syarat-syarat belum terpenuhi.
1. Percepatan tim verifikasi, dalam memastikan lokasi yang digusur oleh perusahaan.
2. Fasilitasi oleh Pemda, untuk mengajukan evaluasi HGU ke Kementerian ATR BPN.
3. Verifikasi kebun yang tidak berada di wilayah HPL berdasarkan surat dari Distransnaker Kukar.
4.Kepastian dari Kementerian ATR, untuk tidak memperpanjang HGU jika syarat-syarat belum terpenuhi.
5. Pemenuhan kewajiban sebanyak 20% dari luas tanam perusahaan, untuk membangun fasilitas kebun masyarakat.
6. Pemasangan batas lahan sesuai IUP atau HGU supaya tidak terjadi konflik lahan.
7. Pendekatan berdasarkan non-hukum jika terjadi kesalahan lahan oleh warga karena ketidaktahuan dan keterbatasan mereka.
8. Penyampaian data verifikasi dari masyarakat untuk membantu langkah selanjutnya.
9. Kepastian hukum bahwa perusahaan harus berkomunikasi dengan masyarakat sebelum membuka atau menggunakan lahan. (ns)