Berita Terbaru

LKBB Kartanegara 2025: Sukses, dan Siap Lebih Meriah Tahun Depan! Pemkab Kukar Komitmen Tindaklanjuti Rekomendasi DPRD atas LKPJ APBD 2024 PANSUS LKPJ Rekomendasikan Perbaikan Jalan Tembus Santan Ulu Ke Santan Ilir
Saksi ahli pemohon no urut 3 Dendi Suryadi-Alif Tiriadi

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar Sidang Pemeriksaan Lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2024 pada Kamis (13/2/2025). Sidang ketiga untuk Perkara Nomor 195/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang diajukan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor Urut 03 Dendi Suryadi dan Alif Turiadi (Pemohon) ini beragendakan mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli, Memeriksa dan Mengesahkan Alat Bukti Tambahan, yang digelar di Ruang Sidang Panel, Lantai 4, Gedung II MK.Dalam sidang Panel Hakim 1 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi dua anggota yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah ini, Pemohon menghadirkan Fitra Arsil sebagai Ahli, serta Rudiansyah, Gunawan, dan Ramadhan sebagai saksi. Sementara Pihak Terkait (Paslon Nomor Urut 01 Edi Damansyah–Rendi Solihin) menghadirkan tiga ahli yakni Zainal Arifin Mochtar, Herdiansyah Hamzah, dan Djohermansyah Djohan, serta Chairil Anwar sebagai saksi.

Saksi terkait nomor urut 1 Edy Damansyah-Rendy Solihin

Adapun Termohon (KPU Kabupaten Kutai Kartanegara) menghadirkan ahli Hasyim Asy’ari dan saksi Yani Wardhana.Fitra Arsil dalam keterangnnya sebagai ahli Pemohon menyebutkan bahwa semakin liberal aturan re-election semakin menurun kualitas demokrasi, sehingga pengaturan pemilihan kembali pemimpin harus tegas dan dijaga penerapannya. Jangan mudah diubah oleh pihak-pihak yang ingin melanjutkan kekuasaannya. Hal ini sebagaimana MK telah membentuk beberapa putusan terkait tentang pemilihan kembali kepala daerah dalam Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 telah menegaskan formulasi penghitugan satu periode masa jabatan yakni masa jabatan yang dihitung berupa masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan. Demikian juga dalam Putusan Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 2/PUU-XXII/2023 serta Putusan nomor 129/PUU-XXII/2024. Dengan demikian, masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan masa jabatan yang telah dijalani tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun pejabat sementara.“Jika diteliti tentang konsistensi MK terhadap hal ini, sangat kuat dan tidak mengakomodasi upaya memperluas makna dengan tujuan memperpanjang waktu menjabat. Secara nyata MK menolak kontroversi penghitungan bukan berdasarkan waktu pelantikan, bukan juga ketika menjadi pejabat definitif, MK keluar dari kontroversi penghitungan waktu dan atribut nama jabatan serta kembali pada hakikat jabatan yang telah dijalani, apapun proses penerimaan jabatan yang disandang. MK menolak tafsir dengan maksud memperluas makna satu periode masa jabatan. Sikap MK ini sudah menyelesaikan semua kontroversi dan secara jelas memberikan kepastian hukum,” jelas Fitra.

Penetapan Penugasan

Rudiansyah (Wakil Ketua DPRD Periode 2014–2019) dalam keterangan sebagai saksi Pemohon mengatakan penetapan penugasan Edy Damansyah dilakukan pada 10 Oktober 2017 untuk menjalankan tugas sebagai Plt. Bupati karena bupatinya berhalangan (kasus hukum korupsi) melalui surat tugas dari Gubernur. “Kemudian pada 9 April 2019 ada pengukuhan Edy sebagai Plt. Bupati berdasarkan surat gubernur serta naskah pengukuhannya. Kemudian 14 Feb 2019 ada pengangkatan Edy sebagai Bupati definitif hingga 2021 (Periode 1) dan lanjut pada 2021–sekarang (Periode 2),” jelas Rusdiansyah.

Pemimpin Ganda

Pemimpin Ganda Dalam kesempatan ini, Pihak Terkait menghadirkan Zainal Arifin Mochtar sebagai ahli yang memberikan pandangan terkait tidak boleh adanya orang dengan masa jabatan lebih dari dua kali dan satu kali masa jabatan itu adalah sekurang-kurangnya dihitung setengah plus satu hari. Menurutnya, permasalahan yang tersisa adalah metode perhitungannya, kapan dan pada kondisi apa penerapan-penerapan lima tahun atau 2,5 tahun itu bisa dikenakan pada seseorang. Dalam Putusan MK 129/PUU-XXII/2024 tersebut, MK menyempurnakan masa jabatan, perhitungan, jenisnya pada putusan tersebut.Dalam pandangan Uceng, demikian ia disapa, perlu ada catatan tentang perbedaan pejabat definitif dengan wakil kepala daerah yang menjabat sebagai kepala daerah. Alasannya bahwa tidak boleh ada pemimpin ganda dalam waktu yang bersamaan, sehingga jika wakil kepala daerah yang menggantikan sementara dianggap sebagai kepala daerah definitif berarti ada dua kepala daerah pada waktu bersamaan. Sebab kepala daerah yang asli tidak diberhentikan secara definitif, hanya dianggap tidak bisa menjalankan fungsinya. “Segala konsep administrasinya melekat sebagai wakil daerah bukan sebagai kepala daerah. Sumpahnya menjadi penanda utama, termasuk sumpah yang dipegang wakil kepala daerah yang ditetapkan mewakili kepala daerah itu. Dia tidak pernah disumpah sebagai kepala daerah, hanya saja dia disuruh melaksanakan tugas sebagai kepala daerah, sehingga harus dibedakan pejabat definitif dengan pejabat pengganti sementara,” jelas Uceng.

Genus Plt.

Sementara Herdiansyah Hamzah dalam pandangan keahliannya menyebutkan bahwa masa jabatan kepala daerah bersifat tetap selama lima tahun dan kemudian dimulai perhitungan saat proses pelantikan. Sebab pada proses ini, pelantikan dimaknai peralihan kekuasaan dari kekuasaan lama kepada kekuasaan baru. Dalam proses pelantikan tersebut, pertama telah didahului dengan serah terima jabatan dari pejabat lama ke pejabat yang baru. Kedua, pada pelantikan tersebut sebagai penanda awal dimulainya proses kekuasaan dijalankan. Sehingga tidak ada parameter lain, karena pelantikan menjadi momentum perhitungan dan otoritas secara penuh dan dijalankan pada saat itu. Ketiga, pelantikan menjadi ukuran masa jabatan dimulai karena sumpah jabatan yang bukan hanya seremonial, melainkan bermakna pemangku jabatan berkomitmen, bertanggung jawab dan disampaikan secara terbuka di hadapan publik sekaligus sumpah jabatan tersebut sebagai relasi antara pemangku jabatan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Lebih jelas, Herdiansyah mengatakan bahwa kendati masa jabatan kepala daerah itu bersifat tetap, tetapi jabatan itu bisa berhenti di tengah jalan. Pemberhentian itu karena meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.

Dalam perkara a quo, jelas Herdiansyah, sebenarnya penetapan Bupati  Kutai Kartanegara ini dimulai saat proses yang bukan dimaknai berhalangan tetap, tetapi berhalangan sementara. Wakil Bupati menjalankan kewenangan Bupati pada saat Bupati ditahan atau berhalangan sementara. Maka mandatorinya sudah jelas, yang disebut apakah Plt. bisa dikualifikasikan perhitungan periodisasi masa jabatan.

“Dalam pendapat saya, Plt. tidak bisa dihitung sebagai periodisasi jabatan. Bahwa Plt. itu genealogi jabatannya pada dasarnya masih dalam status wakil kepala daerah, sehingga genusnya adalah wakil kepala daerah, hanya dalam ketentuan UU Pemda disebutkan ketika berhalangan sementara atau ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, maka wewenangnya dijalankan oleh pelaksana tugas. Jika Plt. dihitung masa jabatan, masalahnya ketika akumulasi setelah jabatan definitif saat penghitungan masa jabatan saat pelantikan plus masa jabatan Plt., maka itu akan bertentangan dengan ketentuan masa 5 tahun dan ini tidak masuk akal,” terang Herdiansyah.

Atau diberhentikan sementara, maka dalam melaksanakan tugas tersebut wakil kepala daerah tanpa meninggalkan jabatan sebagai wakil kepala daerah. oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum,” urai Hasyim. 

Wakil Bukan Penjabat Sementara

Djohermansyah Djohan selaku Ahli memberikan pandangan bahwa dalam praktik kepemimpinan pemerintahan daerah terjadi berbagai peristiwa sehingga muncul konsep acting yakni orang yang berperan seolah-olah menjalankan tugas sebagai kepala daerah, padahal secara rilil bukan kepala daerah. Hal ini terjadi karena kepala daerah yang definitif tersebut telah wafat, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Dalam rangka ini terdapat pengisian kekosongannya melalui dua jalan,  yakni dari ASN dan dari wakil (bupati). Pelaksanaan kedua ini disebutkan berbeda antara wakil bupati dengan ASN, karena ASN itu dikategorikan penjabat sementara, contohnya Pjs. Pj. Plh. Akan tetapi, bagi Wakil Bupati bukan penjabat sementara, ia merupakan pihak/orang yang ditugaskan melaksanakan tugas sebagai kepala daerah sekaligus menjabat sebagai wakil kepala daerah. Ketentuan ini diatur dalam pasal 65 UU Pemda Nomor 23/2014 dan Pasal 66 yang mengatur tentang tugas wakil bupatinya.

“Dan jelas tidak bisa dikatakan Wakil Bupati itu yang melaksanakan tugas itu dihitung masa jabatannya sebagai kepala daerah definitif. Makanya dalam kasus ini, Edy Damansyah yang menjadi bupati definitif, pengangkatan ini sisa masa jabatan 2016–2021 sesuai dengan SK Kemendagri pada 6 Februari 2019 dan yang bersangkutan telah dilantik Gubernur Kaltim pada 14 Februari 2019 serta berakhir masa jabatannya 25 Februari 2021. Artinya masa jabatan beliau hanya menjadi Bupati 2 tahun 11 hari dan inilah yang dipahami oleh para penyelenggara pemilu dan ini pula yang dimengerti di pemerintahan serta ini yang dikenal publik dan bukan cara perhitungan lainnya,” jelas Djohermansyah.

Pembacaan Pakta Integritas

Dalam kesaksian Chairil Anwar (Asisten I Bidang Administrasi Pemerintahan dan Kestra periode 2011–2019) menceritakan bahwa ketika Bupati Kutai Kartanegara berhalangan, maka Wakil Bupati Edy Damansyah mendapatkan SK Gubernur Kaltim ditunjuk sebagai Plt. Bupati.

“Saat itu tidak ada pengangkatan sumpah pada kedua masa itu (10 Oktober 2017 dan 9 April 2018) hanya ada pembacaan Pakta Integritas. Pas 14 Februari 2019, itu baru ada pelantikan dan sumpahnya dulu,” Djohermansyah.

Bukan Pejabat Definitif

Hasyim Asy’ari dalam kapasitasnya sebagai ahli Termohon menyampaikan terkait ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada yang dijabarkan PKPU 8/2024 tentang Pencalonan pada Pasal 19 huruf e, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan. Dalam perkembangannya, sambung Hasyim, Pasal pada PKPU tersebut pernah diajukan pengujiannya ke Mahkamah Agung dan diputuskan pada 15 Oktober 2024. Dalam Putusan MA Nomor 42/2024 menegaskan PKPU tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Sehingga dapat dimaknai terkait pula dengan Putusan MK Nomor 2/2023 maka jika seseorang telah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih maka seseorang telah menjabat satu kali masa jabatan.

“Maka isu hukumnya, apakah ketentuan Pasal 19 objek permohonan tersebut mengikat pada jabatan Plt. kepala daerah, sehingga ketentuan pada pasal itu dihitung sejak pelantikan dan/atau saat tanggal keputusan pengangkatan/penugasan sebagai Plt. kepala daerah? Putusan MK tersebut hanya mengatur terhadap kepala daerah definitif dan kemudian diakomodir oleh Pasal 19 PKPU yang menyatakan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan, baik yang menjabat sebagai definitif atau sementara sehingga tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Pasal 19 PKPU itulah yang menambahkan klausul dilakukan sejak pelantikan merujuk pada pelantikan pejabat definitif dan sementara, sedangkan Plt oleh Wakil Kepala Daerah tidak dapat dikategorikan pejabat definitif atau sementara. Karena pada dasarnya, wakil kepala daerah dalam melaksanakan tugas kepala daerah dalam hal tertentu apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau diberhentikan sementara, maka dalam melaksanakan tugas tersebut wakil kepala daerah tanpa meninggalkan jabatan sebagai wakil kepala daerah. oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum,” urai Hasyim.

Verifikasi Dokumen

Yani Wardhana, Kepala Bagian Tata Pemerintahan di Kutai Kartanegara dalam kesaksiannya menceritakan proses verifikasi dokumen yang dilakukannya terhadap Edy Darmansyah. Pada 9 April 2018 adalah pengukuhannya sebagai Plt. Bupati, pada 10 Oktober 2017 adalah penunjukan sebagai Plt. Bupati dari surat penugasan oleh Gubernur Kaltim.“Selanjutnya pada 14 Februari 2019 pelantikan dari Wakil Bupati menjadi Bupati (Bupati Definitif),” tegas Yani.

Ketika Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada Senin (13/1/2025) lalu, Pemohon mendalilkan Calon Bupati Nomor Urut 01 Edi Damansyah telah menjabat dua periode, yakni 9 April 2018–13 Februari 2019 sebagai Pelaksana Tugas, dan 14 Februari 2019-25 Februari 2021 sebagai Bupati Definitif. Sehingga, Pihak Terkait telah menjabat 2 tahun 10 bulan 12 hari.

Atas dalil-dalil ini, Pemohon memohon agar Mahkamah memerintahkan KPU Kabupaten Kutai Kartanegara melaksanakan pemungutan suara ulang secara menyeluruh di seluruh TPS se-Kabupaten Kutai Kartanegara yang hanya diikuti oleh Paslon Nomor Urut 02 Awang Yacoub Luthman–Akhmad Zais dan Paslon Nomor Urut 03 Dendi Suryadi–Alif Turiadi. (MKRI)