
TENGGARONG — Di tengah arus digitalisasi pendidikan yang kian pesat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutai Kartanegara (Kukar) memilih langkah berbeda. Bukan sekadar menambah materi baru, melainkan menghidupkan kembali warisan lama — lewat bahasa.
Melalui program penyusunan silabus muatan lokal Bahasa Kutai untuk sekolah dasar, Disdikbud Kukar ingin memastikan bahwa anak-anak di daerah ini tumbuh mengenal bahasa ibu mereka sendiri. Sebuah inisiatif yang tak hanya menekankan literasi, tapi juga jati diri.
“Bahasa daerah adalah identitas. Kalau tidak diwariskan sejak dini, ia akan perlahan hilang,” tutur Kepala Disdikbud Kukar, Thauhid Afrilian Noor, di sela kegiatan bimbingan teknis (bimtek) bagi guru SD yang digelar di Hotel Grand Fatma, Tenggarong, Jumat (11/7/2025).
Kegiatan tersebut menghadirkan para pendidik dari berbagai kecamatan di Kukar — mulai dari Sebulu hingga Kenohan — untuk menyamakan persepsi tentang cara mengajarkan Bahasa Kutai di ruang kelas.
Menurut Thauhid, penyusunan silabus bukan perkara menulis daftar materi semata. Ia merupakan upaya menyatukan beragam dialek, kosakata, dan nilai-nilai budaya yang hidup di tiap wilayah.
“Bahasa Kutai di hulu dan di tengah punya perbedaan logat. Tapi keduanya tetap satu akar budaya. Karena itu kami menggandeng ahli bahasa untuk memastikan materinya akurat dan mewakili keragaman lokal,” jelasnya.
Silabus yang sedang disusun akan menjadi panduan resmi guru dalam mengajar Bahasa Kutai, lengkap dengan tahapan pembelajaran sesuai jenjang kelas.
Anak-anak di kelas awal akan diperkenalkan pada kosakata dasar dan lagu daerah, sementara siswa kelas atas diajak memahami peribahasa, pantun, dan cerita rakyat.
Selain silabus, Disdikbud Kukar juga tengah menyiapkan buku ajar Bahasa Kutai yang akan dibagikan gratis ke sekolah-sekolah.
Langkah ini diambil agar tak ada lagi perbedaan materi antara satu sekolah dengan lainnya.
“Program ini sepenuhnya dibiayai pemerintah. Jadi tidak boleh ada yang memperjualbelikan buku ajar ini. Kami ingin memastikan semua anak punya kesempatan belajar bahasa daerah tanpa biaya,” tegas Thauhid.
Lebih dari sekadar panduan belajar, program ini menjadi gerakan kebudayaan.
Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga identitas daerah.
“Pelestarian bahasa daerah tidak bisa hanya mengandalkan buku atau aturan. Ia hidup karena diajarkan dengan hati,” ucap Thauhid dengan penuh keyakinan.
Langkah Disdikbud Kukar ini menjadi contoh nyata bagaimana pelestarian budaya bisa berjalan berdampingan dengan pendidikan modern.
Bahasa Kutai kini tak lagi sekadar bagian dari masa lalu — ia menjadi bahasa masa depan, yang dikenalkan sejak dari bangku sekolah dasar. (adv)