
TENGGARONG — Di era ketika layar menjadi jendela utama pengetahuan, Kutai Kartanegara mengambil langkah strategis, menghadirkan nilai-nilai keagamaan ke dalam ruang digital tanpa kehilangan makna spiritualnya.
Melalui gebrakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar, pembelajaran agama kini bertransformasi menjadi pengalaman interaktif yang modern, inspiratif, dan selaras dengan gaya belajar generasi muda.
Langkah ini terwujud dalam Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama), yang kali ini tampil lebih inovatif dengan fokus pada pengembangan media ajar digital dan konten kreatif berbasis nilai spiritual.
“Kita ingin pembelajaran agama tidak hanya didengar, tapi dirasakan — melalui pengalaman yang relevan dengan keseharian siswa,” ungkap Muhammad Iswan, Analis Kebijakan Ahli Muda Disdikbud Kukar, dalam forum yang digelar di Tenggarong, Kamis (17/7/2025).
Para guru kini diarahkan untuk meninggalkan pola ceramah konvensional dan mulai menggunakan metode partisipatif berbasis multimedia. Dari simulasi ibadah melalui video, permainan edukatif tentang nilai-nilai moral, hingga kuis interaktif berbasis aplikasi — semuanya dirancang agar pendidikan agama terasa dekat dan menyenangkan.
Lebih dari sekadar pelatihan, MGMP kali ini menjadi ruang inovasi terbuka bagi guru untuk berkreasi menciptakan konten digital yang membumikan nilai-nilai spiritual di tengah kemajuan teknologi.
“Teknologi tidak mengaburkan nilai keagamaan. Justru di tangan guru yang kreatif, ia menjadi jembatan yang memperkuat pemahaman siswa,” tambah Iswan.
Sebagai bagian dari agenda Digitalisasi Pendidikan Kukar 2025, Disdikbud telah mendistribusikan perangkat Chromebook ke sejumlah sekolah. Fasilitas ini membuka peluang lebih luas bagi guru untuk mengembangkan kelas agama berbasis digital experience, di mana siswa dapat belajar kapan pun dan di mana pun.
Melalui platform daring, guru bisa menampilkan video pembelajaran, modul refleksi, hingga ruang diskusi virtual antar siswa lintas sekolah. Semuanya diarahkan untuk menumbuhkan spiritualitas yang relevan dengan ritme hidup generasi digital.
“Kami ingin agar nilai-nilai agama tidak berhenti di papan tulis. Ia harus hadir di layar, di ruang obrolan, dan di dunia digital yang menjadi bagian dari keseharian anak-anak kita,” tegas Iswan.
Transformasi ini bukan hanya pembaruan metode, tapi juga pergeseran paradigma: guru menjadi fasilitator nilai, bukan sekadar penyampai materi.
Dengan dukungan teknologi dan komitmen pendidikan yang berorientasi masa depan, Kukar tengah menapaki babak baru — menghadirkan pendidikan agama yang membumi secara digital, namun tetap berakar kuat pada spiritualitas lokal. (adv)