Berita Terbaru

“Saat Guru Menjadi Murid: Kukar Siapkan Transformasi Pembelajaran Dasar yang Lebih Bermakna” Transformasi Layanan Desa! DPMD Kukar Pastikan Posyandu All-in-One Terdaftar Resmi di Kemendagri Anggaran Kembali “Normalalisasi” DPMD Kukar Gelar Lomba TTG 2025: Siap Cetak Inovator Desa Lewat Penilaian Terbuka
Suasana peluncuran buku Kisah Aji Galeng berlangsung hangat dan penuh makna. Dihadiri Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pengembangan Kesenian Tradisional Disdikbud Kukar, Awang Rifani, para tokoh daerah, akademisi, dan perwakilan Kesultanan kutai, Paser, serta Wajo. Acara ini menjadi ruang untuk meneguhkan kembali jati diri budaya dan sejarah Kutai Kartanegara.

Tenggarong – Sore itu, ruang pertemuan di Tenggarong dipenuhi aroma nostalgia. Di antara tumpukan buku baru yang masih hangat dari percetakan, nama Aji Galeng kembali bergema. Seorang tokoh yang selama ini hanya hidup di cerita lisan masyarakat pesisir kini resmi diabadikan dalam buku sejarah — mengembalikan jejaknya ke tengah kesadaran generasi masa kini.

Peluncuran buku yang digelar pekan ini bukan sekadar seremoni budaya. Di baliknya, tersimpan upaya panjang menggali kisah seorang panglima yang dulu menjaga perbatasan Kesultanan Kutai Kartanegara di kawasan Teluk Balikpapan, terutama wilayah Menajem dan sekitarnya.

“Dulu, daerah itu menjadi wilayah penting Kesultanan. Kaya hasil alam, termasuk sarang burung milik Sultan. Karena itu pula, sering jadi rebutan para perampok bahkan incaran Belanda,” ujar Awang Rifani, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pengembangan Kesenian Tradisional Disdikbud Kukar, yang juga terlibat dalam riset buku tersebut.

Sebagai panglima, Aji Galeng bukan hanya penjaga wilayah, tetapi juga pelindung kehormatan Sultan. Ia memimpin pasukannya menghadapi serangan dari laut dan darat, berulang kali berhadapan dengan tentara kolonial yang mencoba merebut aset Kesultanan. Dari situlah, namanya tumbuh menjadi simbol keberanian dan loyalitas.

Penyusunan buku ini memakan waktu berbulan-bulan. Tim peneliti menelusuri naskah lama, melakukan wawancara dengan ahli sejarah lokal, hingga berdiskusi dengan tiga Kesultanan yang punya hubungan darah dan sejarah: Kutai, Paser, dan Wajo.
Ikatan di antara mereka bukan sekadar karena pernikahan bangsawan, tapi juga persaudaraan dalam perjuangan dan pertahanan wilayah di masa penjajahan.

Peluncuran buku tersebut dihadiri banyak tokoh penting — mulai dari Gubernur Kalimantan Timur, Bupati Penajam Paser Utara, akademisi Universitas Indonesia, hingga perwakilan Kesultanan Kutai, Paser, dan Wajo.
Naskah bersejarah itu dicetak terbatas, dibagikan gratis kepada para undangan, seolah menjadi simbol bahwa sejarah bukan untuk dijual, melainkan untuk diwariskan.

Lebih dari sekadar catatan masa lalu, kisah Aji Galeng kini memantulkan makna baru di tengah perubahan zaman.
Daerah yang dulu dijaganya kini menjadi bagian penting dari kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) — menjadikan perjuangannya kian relevan sebagai pengingat bahwa kemajuan harus tetap berpijak pada sejarah dan jati diri.

“Aji Galeng adalah contoh nyata tokoh lokal yang berani melawan penjajahan dan menjaga kedaulatan. Nilai perjuangan itu harus diteruskan. Kami bahkan berharap beliau bisa diusulkan menjadi Pahlawan Nasional,”
tutur Awang Rifani penuh harap.

Kini, lewat buku yang lahir dari tangan para peneliti dan pecinta sejarah, nama Aji Galeng tak lagi hanya hidup di ingatan tua nelayan Teluk Balikpapan. Ia kembali berdiri gagah — tidak di medan perang, tapi di lembar-lembar literasi bangsa.
Dari Tenggarong, pesan itu bergema: bahwa sejarah tidak pernah usang, selama masih ada yang berani menuliskannya kembali. (adv)