
Tenggarong — Suasana ruang pertemuan di Hotel Grand Fatma, Tenggarong, siang itu terasa hangat meski dipenuhi ratusan guru SMP dari berbagai kecamatan. Di tengah barisan peserta Bimbingan Teknis (Bimtek) Sekolah Inklusi, Kepala Disdikbud Kutai Kartanegara (Kukar), Thauhid Afrilian Noor, berdiri dengan suara yang tenang tapi penuh penekanan:
“Sekolah tidak boleh menolak anak berkebutuhan khusus. Apa pun alasannya.” Kalimat itu menggema di ruangan. Sebuah pesan sederhana, namun sarat makna — mengingatkan bahwa hak belajar adalah milik semua anak, tanpa kecuali.
Di hadapan para guru, Thauhid berbicara bukan hanya sebagai pejabat, tetapi juga sebagai seorang ayah dan pendidik yang memahami betapa kompleksnya menangani anak dengan kebutuhan khusus.
Ia mengakui, tantangan di lapangan masih besar.
“Kadang orang tua merasa anaknya baik-baik saja. Saat guru memberi perhatian khusus, justru dianggap merendahkan. Ada yang sampai melapor ke dinas,” kisahnya.
Kendati begitu, baginya, pendidikan inklusi adalah perjalanan panjang yang tak boleh berhenti di tengah jalan. Pemerintah daerah, kata dia, berkomitmen untuk terus mendampingi sekolah agar mampu menciptakan ruang belajar yang adil dan manusiawi bagi semua siswa.
Kegiatan Bimtek kali ini menjadi wadah bagi guru-guru SMP se-Kukar untuk memperdalam pemahaman tentang pendekatan inklusif. Di dalamnya, mereka belajar mengenali karakteristik anak, strategi komunikasi, hingga teknik pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu.
“Melalui pelatihan ini, kami ingin guru punya bekal nyata. Bukan sekadar teori, tapi keterampilan menghadapi anak-anak istimewa di kelas,” ujar Thauhid.
“Fokusnya harus pada solusi, bukan penolakan.”
Ia menekankan bahwa mendidik anak inklusi menuntut kesabaran ekstra — kesabaran yang tak lahir dari kewajiban, tetapi dari cinta terhadap profesi.
Di tengah era digital dan kemunculan kecerdasan buatan (AI), Thauhid juga mendorong guru untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu belajar. Namun, ia mengingatkan, teknologi tidak bisa menggantikan sentuhan manusia.
“AI bisa membantu menjawab soal, tapi hanya hati guru yang bisa memahami anak,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga berbagi pengalaman pribadinya ketika berinteraksi dengan anak inklusi — sebuah momen yang membuatnya menyadari bahwa di balik keterbatasan, selalu ada keajaiban kecil yang menumbuhkan empati dan rasa syukur.
Thauhid menutup pesannya dengan nada lembut, namun penuh penegasan.
“Kalau ada keterbatasan, mari kita cari jalan keluar bersama. Libatkan orang tua, tenaga pendidik khusus, siapa pun yang bisa membantu. Tapi jangan sampai anak-anak ini kehilangan haknya untuk belajar.”
Bagi Thauhid, pendidikan bukan sekadar kewajiban negara, melainkan tanggung jawab moral bersama. Ia percaya, setiap anak — dengan segala perbedaan dan tantangannya — datang membawa pelajaran bagi orang dewasa.
“Anak-anak ini adalah titipan Allah. Mendidik mereka bukan hanya tugas, tapi jalan menuju keberkahan,” tuturnya lirih.
Bimtek hari itu mungkin akan berakhir dalam beberapa jam. Namun, semangat yang ditanamkan Thauhid terasa akan jauh lebih lama hidup di hati para guru.
Ia meninggalkan satu pesan sederhana, namun menggugah:
“Setiap anak membawa ujiannya sendiri. Maka hadapilah bukan hanya dengan teori, tapi juga dengan doa dan ketulusan. Karena di situlah pendidikan sejati tumbuh.”
Dan di ruangan itu, para guru tersenyum — mungkin lelah, tapi hatinya penuh. Sebab mereka tahu, menjadi guru bagi anak-anak istimewa bukan sekadar profesi, melainkan bentuk cinta yang tak semua orang mampu menjalaninya. (adv)