
Tenggarong — Di salah satu rapat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutai Kartanegara (Kukar), sebuah percakapan serius tengah berlangsung. Bukan soal angka kelulusan atau data ujian, melainkan tentang harapan bagi anak-anak yang sering terpinggirkan dari ruang kelas — anak-anak berkebutuhan khusus.
Mereka disebut anak istimewa, karena dunia mereka bergerak dengan ritme yang berbeda. Dan kini, Pemkab Kukar tengah menyiapkan langkah besar agar mereka tak lagi berjalan sendiri.
“Harapannya, kita bisa segera punya Unit Layanan Disabilitas (ULD),” ujar Plt Kepala Bidang SMP Disdikbud Kukar, Emy Rosana Saleh, dengan nada penuh optimisme.
Ia tahu betul, keberadaan ULD bukan sekadar tambahan program — melainkan fondasi agar pendidikan inklusif benar-benar hidup di Kukar.
Rencana pembentukan ULD ini menjadi bagian dari upaya besar pemerintah daerah memperkuat sistem pendidikan yang ramah bagi semua kalangan. Di unit ini nanti, anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) bisa mendapatkan asesmen kebutuhan, layanan psikolog, hingga rekomendasi penanganan sesuai kondisi masing-masing.
“Setiap anak punya kebutuhan berbeda. Ada yang sensitif terhadap suara, ada yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. ULD akan membantu guru dan sekolah memahami itu semua,” tutur Emy.
Namun, membangun ‘rumah’ yang ramah ini tentu tidak mudah. Emy tak menampik, Kukar masih menghadapi keterbatasan. Belum tersedia tenaga ahli yang cukup, dan fasilitas khusus masih dalam tahap perencanaan.
“Kalau ingin membentuk ULD, harus ada ruang, alat, dan tenaga profesional. Kita belum punya semuanya,” ujarnya pelan, seolah menegaskan kenyataan yang sedang mereka kejar.
Langkah berikutnya adalah belajar. Disdikbud Kukar berencana melakukan studi banding ke Samarinda, daerah yang sudah lebih dulu memiliki ULD dan berhasil mengoperasikan sistem pendidikan inklusif.
“Kita perlu melihat langsung bagaimana mereka membangun dari nol. Dari situ, kita bisa menyesuaikan dengan karakter dan kebutuhan daerah kita,” jelasnya.
Studi banding itu bukan sekadar mencari contoh, tapi untuk memastikan setiap anak di Kukar nantinya mendapat hak yang sama dalam belajar — tanpa kecuali.
Emy percaya, ketika ULD terwujud, guru-guru di sekolah tidak lagi kebingungan menghadapi anak dengan kebutuhan khusus. Mereka akan punya tempat bertanya, tempat belajar, dan tempat merujuk.
“Kalau asesmen dan pendampingan bisa dilakukan dengan benar, anak-anak ini akan berkembang sesuai potensinya,” katanya.
Pernyataan itu sederhana, namun di baliknya tersimpan harapan besar — bahwa tak ada lagi anak yang tersisih dari ruang belajar hanya karena mereka berbeda.
Bagi Disdikbud Kukar, membangun ULD bukan sekadar memenuhi amanat regulasi. Ini tentang menyiapkan ruang aman bagi anak-anak istimewa untuk tumbuh, tentang membuka pintu agar semua anak bisa berjalan bersama di koridor yang sama — sekolah yang inklusif, adil, dan manusiawi. (adv)