
SAMBOJA – KUTAI KARTANEGARA – Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri bersama Polda Kalimantan Timur berhasil mengungkap jaringan tambang batu bara ilegal yang beroperasi di kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kutai Kartanegara. Seorang pengusaha berinisial MH, yang diduga menjadi otak di balik operasi tersebut, ditangkap di Pekanbaru, Riau, pada 22 Oktober 2025. Melalui dua perusahaan miliknya, CV BM dan CV WU, MH diduga menyamarkan hasil tambang ilegal dengan dokumen izin tambang resmi yang dimanipulasi, hingga seolah-olah kegiatan penambangan di kawasan konservasi itu legal.
Kasus ini diungkap dalam konferensi pers, Sabtu (8/11/2025), yang dipimpin Dittipidter Bareskrim Polri Brigjen Pol Moh. Irhamni, didampingi Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Myrna Asnawati Safitri.
Irhamni menjelaskan, MH diduga menjadi pengendali utama aktivitas tambang ilegal melalui dua perusahaan, yakni CV BM dan CV WU.
Meski CV WU memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang masih berlaku hingga 2029, perusahaan tersebut belum mengantongi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Namun, dokumen IUP itu tetap digunakan untuk menyamarkan batu bara ilegal agar seolah-olah berasal dari kegiatan tambang legal.
“Cara kerja mereka adalah memalsukan dokumen agar batu bara ilegal terlihat legal, padahal penambangan dilakukan di kawasan konservasi,” tegas Irhamni.
Dalam penyidikan, polisi menyita 214 kontainer berisi batu bara di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Kaltim Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan.

Selain itu, diamankan pula tumpukan batu bara sekitar 6.000 ton, sejumlah dokumen pengiriman, buku catatan muatan, serta rekening koran milik tersangka.
MH dijerat Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar.
Sementara tersangka lain berinisial AS dikenai Pasal 159 karena menerbitkan dokumen palsu dan laporan yang tidak sesuai.
Irhamni menambahkan, sejauh ini sudah ada lima tersangka dari empat laporan berbeda. Nilai transaksi dari tambang ilegal tersebut diperkirakan mencapai Rp80 miliar, dengan total pengiriman sekitar 4.000 kontainer. Aktivitas penambangan berlangsung di lahan seluas 300 hektare, sebagian di antaranya beririsan dengan zona delineasi Ibu Kota Nusantara (IKN).
Deputi OIKN Myrna Asnawati Safitri mengapresiasi langkah tegas aparat. Ia menyebut kolaborasi antara Polri, TNI, dan OIKN sudah diperkuat sejak 2023 melalui pembentukan satuan tugas gabungan.
“Tahun ini fokus kami bukan hanya pengawasan, tetapi juga penindakan. Tambang ilegal di Tahura bukan persoalan baru, sudah berlangsung sejak lama,” ujar Myrna.
Ia menegaskan, OIKN memiliki tanggung jawab menjaga fungsi konservasi di kawasan tersebut.
“Penegakan hukum ini penting agar kawasan tidak dikorbankan demi keuntungan jangka pendek para pelaku tambang ilegal,” tutupnya. (antara)
