Berita Terbaru

“Saat Guru Menjadi Murid: Kukar Siapkan Transformasi Pembelajaran Dasar yang Lebih Bermakna” Transformasi Layanan Desa! DPMD Kukar Pastikan Posyandu All-in-One Terdaftar Resmi di Kemendagri Anggaran Kembali “Normalalisasi” DPMD Kukar Gelar Lomba TTG 2025: Siap Cetak Inovator Desa Lewat Penilaian Terbuka
Langkah mereka serempak, irama gamelan mengiring lembut dari kejauhan. Para penari muda berlatih dengan penuh semangat di Stadion Rondong Demang, menjaga nafas budaya agar tetap hidup di tanah Kutai Kartanegara.

Tenggarong – Sore di Tenggarong mulai meredup ketika suara gamelan sayup terdengar dari kejauhan. Di halaman Stadion Rondong Demang, sekelompok penari tengah melakukan gladi bersih. Kain mereka berayun mengikuti irama, seolah memanggil kembali jejak masa lalu yang pernah jaya di tepian Mahakam.

Setelah berminggu-minggu mempersiapkan segala detail, Kepala Disdikbud Kukar, Thauhid Afrillian Noor, memastikan satu hal: semua sudah hampir siap.
“Kalau seremoni sudah beres, tinggal kita berdoa semoga Minggu nanti cuacanya bersahabat,” katanya sambil tersenyum, menatap langit senja yang mulai berwarna jingga.

Festival Erau bukan sekadar pesta rakyat. Ia adalah panggung sejarah dan kebanggaan peradaban Nusantara. Tahun ini, tema “Menjaga Marwah Peradaban Nusantara” diusung untuk menegaskan kembali peran Kutai Kartanegara sebagai salah satu pusat peradaban tertua di Indonesia.

Di bawah payung tema itu, berbagai prosesi adat, pertunjukan seni, dan kegiatan masyarakat disusun rapi. Dari tarian klasik hingga upacara Belimbur—tradisi mandi bersama yang menjadi penutup sakral Erau—semuanya dirancang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang mulai terlupa.

Thauhid tahu betul, menggelar acara sebesar Erau bukan perkara mudah. Ia harus memastikan setiap bagian bergerak dalam ritme yang sama—mulai dari tim protokol hingga perlengkapan di lapangan.
“Tantangan terbesar ada di jadwal,” ujarnya. “Sabtu ada Rakornas, Minggu pembukaan, dan Senin langsung penutupan. Jadi tim harus benar-benar siap tanpa jeda.”

Namun, di tengah padatnya agenda, semangat para panitia tak pernah surut. Bagi mereka, Erau bukan hanya acara tahunan, melainkan warisan yang harus dijaga dan dirayakan dengan hati.

Dalam percakapan singkatnya, Thauhid mengajak masyarakat untuk ikut menjadi bagian dari perayaan ini.
“Silakan datang, pilih tempat yang nyaman untuk menonton. Yang penting kita sama-sama menjaga ketertiban dan kebersamaan,” katanya.

Festival Erau akan resmi dibuka Minggu, 21 September, dengan puncak prosesi Belimbur pada 28 September, dan penutupan pada 29 September.

Di tepi Sungai Mahakam, air berkilau memantulkan cahaya sore. Dalam pantulan itu, seolah tersimpan harapan—bahwa di balik setiap tarian dan tabuhan gong, ada semangat untuk menjaga marwah peradaban yang menjadi akar identitas Kutai Kartanegara.

Dan tahun ini, sekali lagi, Tenggarong bersiap menjadi saksi bahwa budaya bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan nafas yang terus dihidupkan generasi demi generasi. (adv)