Berita Terbaru

Perjuangan Haikal Pasca-Amputasi: Santri Ponpes Al Khoziny Itu Jalani Pemulihan Menunjang Kinerja Pemda, Satpol PP Kukar Dilatih Kombinasikan Ketegasan dan Negosiasi Massa “Dari Tenggarong ke Nusantara: Kukar Siapkan Arah Baru Pembangunan Berkelanjutan”
Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kukar, Puji Utomo, saat memberikan keterangan tentang pelestarian tradisi Erau Adat Benua Tuha di Desa Sabintulung, Muara Kaman. Ia menegaskan pentingnya menjaga keaslian budaya sebagai akar sejarah Kutai Kartanegara.

TENGGARONG — Di tengah gegap gempita modernisasi dan festival budaya yang kian berwarna, masih ada satu desa yang memilih berjalan di jalur sunyi menjaga kemurnian warisan leluhur dengan penuh hormat. Desa itu bernama Sabintulung, di Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara.

Di sinilah denyut awal Erau, pesta adat legendaris Kerajaan Kutai, terus hidup dalam wujud Erau Adat Benua Tuha, sebuah ritual yang telah dilestarikan sejak tahun 1926. Tak sekadar tradisi, upacara ini adalah jembatan spiritual antara masa kini dan masa lampau, menghubungkan masyarakat modern dengan akar sejarah kerajaan tertua di Nusantara.

“Sabintulung bukan hanya tempat. Ia adalah memori yang hidup sumber dari segala cerita tentang Erau,” ujar Puji Utomo, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar.

Berlangsung selama tujuh hari tujuh malam, Erau Sabintulung disusun dengan kesederhanaan yang khidmat: lantunan gambus tingkilan, tarian adat, hingga ritual sungai yang menandai rasa syukur masyarakat kepada alam dan leluhur. Tak ada sorotan lampu besar, tak ada panggung megah hanya harmoni antara manusia, tanah, dan sungai Mahakam yang menjadi saksi.

Kini, di tengah transformasi budaya dan teknologi, Disdikbud Kukar hadir bukan untuk mengubah wajah Sabintulung, tetapi untuk menjaganya tetap otentik. Dukungan diberikan dalam bentuk pendampingan pelestarian budaya, dokumentasi digital tradisi, serta penguatan peran generasi muda agar mereka turut merawat nilai-nilai adat melalui cara yang lebih modern.

“Kita tidak ingin tradisi ini hilang di balik layar digital. Justru dengan teknologi, kita ingin menghadirkannya lebih luas tanpa mengubah jati dirinya,” tambah Puji.

Berbeda dengan Erau di Tenggarong yang bersifat kolaboratif dan terbuka untuk berbagai kesenian daerah, Sabintulung tetap menjadi poros keaslian. Di sini, setiap lagu, gerak, dan doa tetap dilafalkan dengan bahasa Kutai kuno, seolah waktu berhenti hanya untuk menjaga kemurnian sejarah.

Erau Sabintulung kini menjadi inspirasi bagi pengembangan konsep “wisata budaya berbasis pelestarian” yang tengah digagas Pemkab Kukar. Melalui pendekatan ini, tradisi tidak lagi sekadar tontonan, tetapi ruang edukasi dan refleksi nilai-nilai leluhur bagi generasi masa depan.

“Sabintulung adalah halaman pertama dari buku besar sejarah Kutai. Tugas kita adalah memastikan halaman itu tidak pernah hilang,” tutup Puji dengan penuh makna. (adv)