
TENGGARONG — Desa Margahayu di Kecamatan Loa Kulu tengah bergerak menuju dua identitas besar sekaligus: sebagai kawasan pendidikan terintegrasi dan sebagai salah satu lumbung pangan utama Kutai Kartanegara (Kukar). Transformasi itu tidak datang tiba-tiba, tetapi lahir dari posisi strategis desa yang memiliki potensi sumber daya manusia sekaligus sektor pertanian yang masih aktif.
Geliat pendidikan di Margahayu semakin terlihat sejak hadirnya Sekolah Polisi Negara (SPN). Keberadaan institusi tersebut membuka peluang besar bagi desa untuk berkembang sebagai pusat aktivitas pendidikan.
“Kami melihat kehadiran SPN bukan hanya sebagai fasilitas keamanan, tapi katalis untuk menjadikan Margahayu sebagai kawasan pendidikan,” ujar Kepala Desa Margahayu, Rusdi, ketika ditemui Kamis (6/11/2025). Ia mengatakan desa kini mulai menata infrastruktur agar mampu mendukung aktivitas pendidikan di masa depan.
Namun, di balik ambisi menjadi desa pendidikan, Margahayu juga memikul peran penting bagi ketahanan pangan Kukar. Desa ini dikenal sebagai salah satu daerah swasembada beras dengan hamparan sawah seluas sekitar 400 hektare yang masih aktif dikelola.
“Selama ini hasil panen petani kami ikut menyuplai kebutuhan beras untuk wilayah sekitar. Ini yang ingin kami jaga,” tutur Rusdi.
Ancaman Alih Fungsi Lahan Produktif
Di tengah upaya mempertahankan peran sebagai lumbung pangan, muncul kekhawatiran terkait rencana pemanfaatan lahan seluas 173 hektare oleh perusahaan Perkebunan Agung Makmur (PAM). Lahan tersebut berada di kawasan Hak Guna Usaha (HGU), namun selama bertahun-tahun telah digarap masyarakat sebagai sawah produktif.
Menurut Rusdi, jika lahan itu dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, dampaknya dipastikan terasa langsung pada kapasitas produksi pangan desa.
“Kalau lahan itu hilang, kontribusi Margahayu untuk program swasembada pangan bisa turun tajam. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keberlanjutan pangan daerah,” tegasnya.
Pemerintah desa telah berkoordinasi dengan Dinas Perkebunan Kukar untuk mencari jalan tengah. Rusdi menegaskan pihaknya tidak menolak investasi, namun meminta skema pengelolaan yang berpihak pada masyarakat.
“Kami ingin perusahaan membuka ruang kemitraan, bukan mengambil alih lahan yang sudah turun-temurun dikelola warga. Pembangunan itu harus saling menguatkan,” ujarnya.
Margahayu kini berada pada persimpangan penting: mempersiapkan diri menjadi pusat pendidikan tanpa kehilangan jati diri sebagai desa agraris.
“Kami siap beradaptasi dengan perkembangan wilayah,” kata Rusdi. “Tapi Margahayu tetap ingin dikenal sebagai desa yang mendukung dunia pendidikan sekaligus menjaga ketahanan pangan Kukar.”
Dengan tantangan dan peluang yang berjalan beriringan, masa depan Margahayu sangat ditentukan oleh kemampuan menjaga keseimbangan dua peran tersebut—sebuah identitas ganda yang justru bisa menjadi kekuatan desa. (adv)
