
Sangatta, Kutai Timur – Manajemen keuangan publik di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) tengah menjadi sorotan tajam setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit adanya temuan signifikan berupa kelebihan pembayaran dan belanja tanpa bukti pertanggungjawaban yang sah. Senilai total Rp8,8 miliar pada anggaran 2024 di 12 kecamatan.
Temuan ini mengindikasikan masalah serius dalam pengelolaan keuangan daerah dan akuntabilitas pejabat publik. Kekacauan Administrasi dan Lemahnya Pengawasan
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK mengungkap bahwa kekacauan administrasi ini tidak hanya mencerminkan kelalaian prosedural, tetapi juga mengindikasikan lemahnya pengawasan yang berpotensi merugikan keuangan daerah secara masif. Temuan ini menunjuk langsung pada akuntabilitas para pejabat lokal, khususnya para Camat yang bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA).
Rincian Temuan: Belanja Tanpa Bukti Sah dan Kelebihan Pembayaran. Hasil audit BPK merinci temuan ini menjadi dua kategori utama yang mengkhawatirkan:
1. Belanja Tanpa Bukti Sah: Sebesar Rp8.819.413.128,05 dicatat sebagai pengeluaran belanja daerah yang tidak didukung oleh dokumen pertanggungjawaban lengkap dan sah. Ini berarti miliaran uang rakyat dibelanjakan tanpa jejak akuntabilitas yang jelas.
2. Kelebihan Pembayaran: Ditemukan adanya kelebihan pembayaran senilai Rp937.653.043,25 yang wajib dikembalikan ke kas daerah, namun hingga laporan BPK dirilis, penyetorannya belum tuntas seluruhnya.
Temuan ini tersebar di sejumlah kecamatan, dengan Rantau Pulung, Telen, Bengalon, Sangkulirang, dan Muara Bengkal disebut memiliki temuan paling signifikan. BPK bahkan menemukan kasus tunda bayar di Rantau Pulung dan Telen, di mana sisa saldo belanja tahun 2024 baru dibayarkan pada 2025, sebuah indikasi kuat adanya pengendalian keuangan dan keterlambatan pertanggungjawaban.
BPK secara eksplisit menilai kondisi ini tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Audit tersebut secara langsung menuding para pejabat, terutama Camat selaku PA dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), telah lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan fundamental.
“Camat selaku PA tidak optimal melakukan pengawasan terhadap penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah,” tulis BPK dalam dokumen resminya, menyerukan pertanggungjawaban pribadi atas kegagalan sistemik ini.
Camat Rantau Pulung, Tristin, saat dikonfirmasi, berusaha meredakan kekhawatiran atas temuan tersebut. Melalui pesan WhatsApp, ia mengklaim bahwa temuan BPK hanya bersifat teknis dan administrasi. “Data itu ada, hanya diverifikasi keabsahannya, karena keterlambatan anggota kami menyampaikan kepada BPK,” ucap Tristin.
Pernyataan ini berpotensi memicu kritik lebih lanjut, mengingat temuan BPK bukan hanya tentang ‘keterlambatan’, melainkan tentang kelengkapan dan keabsahan bukti pengeluaran publik.
Rekomendasi BPK dan Konsekuensi Hukum
Menyikapi temuan ini, BPK mengeluarkan rekomendasi yang bersifat imperatif kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pemkab Kutim diwajibkan untuk:
- Segera memproses penyetoran kelebihan pembayaran senilai Rp937 juta ke kas daerah.
- Melengkapi seluruh dokumen pertanggungjawaban atas belanja senilai Rp8,8 miliar sebelum batas waktu penyelesaian audit.
- Memperketat proses verifikasi dan pengawasan keuangan oleh Camat, PPTK, dan Bendahara Pengeluaran di seluruh kecamatan.
BPK menegaskan bahwa setiap pengeluaran daerah harus didukung oleh bukti pengeluaran yang sah dan dilaksanakan sesuai ketentuan untuk menghindari potensi kerugian negara lebih lanjut. Kegagalan untuk menindaklanjuti rekomendasi ini dapat memicu proses hukum lebih lanjut. (Tim)
